JDA.Com. KERANGKA terminologi (istilah) disabilitas, masih sering dikategorikan dengan persoalan simpati. Ketika terminologi disabilitas digunakan dan disandingkan dengan seni, seringkali masyarakat memfokuskan diri melihat disabilitas, yang berkarya seni. Bukan karya, yang secara kebetulan dihasilkan seorang disabilitas pelaku seni.
Dampaknya, apresiasi akan berujung charity (belas kasihan). Di sisi lain, daya dari karya seni yang diwacanakan, tereduksi dengan identitas senimannya. Kemudian, difabel pelaku seni diletakkan dalam kerangka model social charity dan praktik diskriminasi.
Ada yang kontradiksi, sehingga melahirkan kegelisahan tersendiri. Tak dipungkiri ada pula yang menerimanya sebagai berkat dari ilahi. Sebagian kelompok yang kontradiksi, ialah akademisi. Mewacanakan ulang disabilitas (difabel) dalam seni, dikaji. Dengan harapan dapat meletakkan dan merestorasi nilai-nilai diri yang tak seharusnya tersembunyi.
Dalam sebuah diskusi yang dihelat Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) Sekolah Pascasarjana UGM, wacana menata ulang disabilitas dalam seni melahirkan beberapa poin positif. Mengonstruksi ulang posisi disabilitas l pelaku seni dalam masyarakat salah satu poin tersebut.
Semestinya tidak ada istilah karya seni difabel. Demikian pandangan Sukri Budi Dharma, Founder Jogja Disability Arts (JDA) dalam kapasitasnya sebagai narasumber. Pria yang disapa dengan nama Butong itu pun menandaskan, bahwa setiap karya seni yang musti dinilai adalah karyanya. Bukan siapa yang berkarya.
Dalam lingkungan pergerakan seni, lanjut Butong, JDA menggunakan terminologi (term) disabilitas pelaku seni. Hal ini sebuah tanda peletakkan disabilitas sebagai subjek (pelaku). Disabilitas berkegiatan aktif. Sedangkan seni, merujuk wilayah kegiatannya.
Seni inklusif
Menurut Butong, pandangan seni inklusif, sudah digaungkan beberapa tahun belakangan. Dia menyangkan, karena pada praktiknya pandangan tersebut hanya melahirkan narasi. Tidak mewujud dalam implementasi. Bahkan, lanjut dia, justru menempatkan disabilitas sebagai objek dari label inklusi.
Dicontohkannya, keterlibatan disabilitas dalam kegiatan seni. Prosesnya masih memakai sudut pandang non disabilitas. Minim atau seringkali tanpa melibatkan disabilitas dalam prosesnya. “Sementara, yang paham kebutuhan tentunya yang membutuhkan. Yaitu disabilitas itu sendiri,” tandas Butong.
Relevansi konsep estetika
Diskusi yang dimoderatori DR. Budi Irawanto, pada Senin (26/9) menarik beberapa kesimpulan dan gagasan. Pertama, membuka ruang seni difabel seniman menuju dunia seni arus utama, dengan konsep estetika disabilitas menjadi relevan. Kedua, menghubungkan empat wacana antara seni dan difabel. Yakni: terapi seni, outsider art, seni disabilitas dan estetika disabilitas.
Yang dimaksud dengan outsider art ialah seni yang dibuat oleh seniman otodidak atau yang dianggap naif, dengan sedikit atau tanpa kontak dengan konvensi dunia seni. Dalam banyak kasus, pekerjaan mereka baru diketahui setelah kematian mereka. Seringkali, seni luar menggambarkan keadaan mental yang ekstrem, ide-ide yang tidak konvensional, atau dunia fantasi yang rumit.
Titik dari seni, hadir untuk memberikan gambaran tentang beberapa
prinsip wacana seni dan disabilitas. Lebih lanjut, pewacanaan tersebut
didasari atas praktik juga teoretik. Yang berefleksi pada kasus-kasus yang
melibatkan seni dan disabilitas.
Seni sesungguhnya ikut berkontribusi dalam mengukir masa depan karena seni merupakan bagian dari praktik sosial, terutama perannya dalam menciptakan dunia simbolik. Seni, mengusung nilai-nilai estetika yang tak hanya mengilhami, tapi juga menjadikan penghayatan hidup yang lebih intens, termasuk pada persoalan disabilitas dan inklusi.
Disarikan dari sebuah diskusi "Mewacanakan Ulang Disabilitas dalam Seni", yang diselenggarakan Program S2 PSPSR UGM. Dihelat Senin (26/9), di Gedung Pasca Sarjana Lantai V. Sebuah diskusi sebagai pewacanaan menuju Konferensi Internasional Pengkajian Seni 2023, “Arts and Beyond Conference: Embracing Disability, Fostering Inclusivity”. *** [harta nining wijaya]