JDA-Yogyakarta -Juli 2022. Adalah kali pertama Jogja Disability Arts (JDA) mengikuti pameran seni kontemporer terbesar, Artjog MMXXII. Berkisah tentang representasi difabel pada empat masa dengan karakter yang mewakili setiap zamannya, puluhan karya seni rupa dua dimensi, video (tembang) dan patung dipamerkan di gelaran Artjog.
Karya seni kolaborasi ini merefleksikan peran, status sosial serta relasi disabilitas pada masa lalu, melalui lini masa sejarah Jawa yang sudah ada. Mulai dari masa kerajaan Pasca Medang/Mataram Kuno, Singosari, Majapahit, Demak, Mataram Islam hingga kolonial.
Dikemas dengan metode narasi Babad (Babad Wikara), tiap-tiap karya menyampaikan pesan kemanusiaan, memanusiakan manusia. Mengajak pengunjung pameran menoleh ke belakang, dalam konteks disabilitas masa silam, sebagai refleksi disabilitas pada masa sekarang. Menyadarkan pengunjung, akan representasi karakter difabel empat masa, yang mewakili setiap zaman.
Dimulai dari karakter Bancak dan Doyok dalam cerita Panji. Dua difabel yang menjadi abdi dalem sekaligus pengawal dan penasehat Raden Panji Inu Kertapati, pangeran dari Jenggala. Bancak dan Doyok tergambar dalam wayang Beber, wayang Gedhog dan Tari Topeng. Keduanya digambarkan memiliki kekurangan, baik secara fisik (cebol) maupun sensorik pada mata. Namun keduanya menjadi tokoh penting dalam kisah Panji.
Kedua, karakter Sabda Palon dan Naya Genggong yang dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi. Kisah ini dikaitkan dengan Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir. Keduanya juga abdi dalem pada masa itu, tetapi bukan abdi dalem biasa. Melainkan penasihat yang mampu membaca gejala alam. Sabda Palon dan Naya Genggong juga memiliki kekurangan secara fisik.
Ketiga, karakter Wujil yang diambil dari Suluk Wujil. Wujil adalah bekas abdi dalem Maospati era Majapahit. Setelah Majapahit surut dan beralih ke Demak, Wujil kemudian belajar ilmu kasampurnan pada Sunan Bonang. Wujil digambarkan sebagai seorang mini (cebol) tetapi mempunyai kemauan belajar kuat.
Kisah keempat, dipilih dari Babad Diponegoro, dengan karakter Banteng Wareng. Yaitu abdi dalem, pengawal dan pengikut Diponegoro yang setia dan kuat. Meski berperawakan mini (cebol), Banteng Wareng menjadi salah satu tokoh penting dalam perjuangan Diponegoro. Semua kisah dinarasikan dalam bentuk Babad, yang diberi nama Babad Wikara.
Diilhami dari cerita Panji, pewayangan, serta kitab dari kerajaan majapahit, malatarbelakangi Babad Wikara. Setiap masa menjadi acuan untuk memilih karakter/tokoh/figur disabilitas. Peran dan posisi difabel tergambarkan secara eksplisit, dalam babad, kitab, pewayangan, suluk dan kisah cerita rakya serta mitologi.
Ketua JDA Sukri Budhi Darma (Butong) menjelaskan bahwa metode riset digunakan dalam penciptaan karya kolaborasi tersebut. Penelitian melalui beberapa literatur dan visualitas berbagai artefak, mengawali penciptaan karya kolaborasi antara Nano Warsono dengan Jogja Disability Arts (JDA) ini.
Bahwa, penyandang disabilitas sudah ditulis dalam sejarah Jawa. Pada masa Kerajaan Singosari (1222 – 1292), orang dengan disabilitas memiliki kedudukan setara, bahkan berperan penting secara sosial kenegaraan. “Dari zaman Singosari, Majapahit, sampai Mataram Islam, bicara konteks disabilitas itu ternyata sudah diberikan peran dan status di dalam masyarakat,” ujar Butong, Kamis (7/7/2022).
Para seniman JDA yang bergabung dalam pameran tersebut, di antaranya: Sukri Budi Darma (Butong), Winda Karundhita, Kusdono Rastika, Edi Priyanto, Wiji Astuti, Budi Mulya, keenamnya disabilitas fisik. Ada juga Zaka Nurul Giffani dan Rofita Saru Rahayu, keduanya tuli. I Kadek Agus dan Robby Agus Widodo (netra). Serta seniman nondifabel, Herman Priyono, Siam Artista, Syaifuddin Almajid, Bernard Wora Wari dan Eri Saktyawan. [Harta Nining Wijaya]